Review Buku
Judul Buku : Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir
Author : Marvin Harris
Penerjemah : Ninus D Andarnuswari
Tahun : Mei 2019
Penerbit : Marjin Kiri
“Alasan lain mengapa banyak adat dan pranata tampak misterius adalah karena kita telah diajari untuk menjunjung tinggi penjelasan “spiritual” yang rumit atas fenomena kebudayaan, alih-alih penjelasan yang membumi [ yang ] terbangun dari soal perut, seks, energi, angin, hujan, dan fenomena lain yang biasa dan teraba”
Marvin Harris
Marvin Harris ( 1927 – 2001 ) adalah seorang antropologi Amerika berpengaruh yang mengembangkan paham “materialisme kultural”. Dijuluki sebagai “salah satu antropolog paling kontroversial” oleh majalah Smithsonian, Harris berpandangan bahwa faktor produksi dan demografi merupakan kunci untuk mengurai kebudayaan dan struktur sosial masyarakat. Selain itu juga, Antropolog Marvin Harris mencoba memberi jawaban atas perilaku sosial yang sering dibilang tak terjelaskan dan menunjukkan bahwa seaneh apapun polah manusia, pasti ada penjelasan yang bersumber dari kondisi-kondisi ekonomis dan ekologis yang konkret.
Banyak sekali teka-teki dan pertanyaan dibenak kita mengenai berbagai kondisi budaya ataupun kultural masyarakat yang sedari nenek moyang dahulu bahkan sampai saat ini masih diyakini dan diimani adanya. Mengapa sebagian besar masyarakat pemeluk agama hindu di India mengagungkan sapi dalam kesehariannya sebagai peribadatan yang diyakininya bahwa sapi termasuk ‘hal yang suci’ ? Selain itu juga timbul lagi teka-teki mengapa orang Yahudi dan Muslim mengharamkan babi sebagai konsumsi keseharian dan sebaliknya orang Maring di New Guinea seakan tak bisa hidup tanpa babi? Mengapa beberapa kepala suku Indian Amerika Utara membakarharta bendanya sendiri untuk menyombongkan kekayaannya? Mengapa begitu banyak orang di abad pertengahan percaya penyihir? Dan mengapa sihir hadir kembai secara mencolok dalam kebudayaan populer saat ini?
India merupakan salah satu negara dari berbagai negara yang sebagian warganya menggantungkan hidupnya pada alam salah satunya pada sektor pertanian. Dimana yang kita ketahui kebutuhan dalam bertani salah satunya ialah bajak sawah. Sebagian masyarakat India masih melanggengkan sapi sebagai salah satu media dalam membajak sawah ‘traktor’. Bahkan saat krisis terjadi, petani India rela untuk tidak mengkonsumsi sapi untuk mengganjal perut saat kelaparan. Dan itu akan menjadi hal yang konyol dan fatal bagi mereka jika memilih jalan tersebut untuk menyambung hidup. Para petani miskin India tahu bahwa begitu musim hujan tiba, mereka sangat butuh lembu untuk membajak ladang. Fatal bagi petani miskin makan sapi. Para petani yang tidak punya lembu, terpaksa pinjam uang ke rentenir untuk menyewa hewan bajak atau merantau ke kota jadi gelandangan. Mereka butuh sapi sebagai penopang urusan kerumahtanggaan yang lain. Sapi punya peran mahaluas bagi keluarga petani miskin India. Hewan ini tidak cuma lebih terampil membajak sawah kering ketimbang kerbau, dan serba guna, tapi juga mampu bertahan selama masa kekeringan yang kerap menimpa India. Itu alasan yang rasional bagi petani miskin di India. Kehilangan sapi sama artinya kehilangan ladang dan pangan. Selama membajak, sapi meninggalkan tumpukan kotoran, keberkahan alamiah kesuburan tanah. Petani Amerika mengalami sebaliknya. Traktor yang mereka gunakan mengolah tanah justru meninggalkan bekas polusi dan zat kimia yang merusak kesuburan tanah. Mereka menghabiskan uang membeli pupuk kimia untuk mengatasi masalah itu. Petani India menikmati pupuk gratis yang melimpah. Kotoran sapi berfungsi sempurna menstimulasi tingkat subur tanah. Bukan cuma itu, kotoran sapi adalah sumber energi gas gratis yang menyalakan tungku masak di dapur orang-orang pedesaan India. Perempuan pedesaan India memasak dengan energi gas kotoran sapi yang disebut gobar. Kotoran sapi menghasilkan nyala api yang kecil dan stabil, sehingga perempuan India dapat memasak sambil mengasuh anak dan merawat ternak tanpa khawatir masakan gosong. Sifat serba guna kotoran sapi belum selesai. Petani di pedesaan India menggunakan kotoran sapi untuk kebutuhan infrastruktur rumah. Kotoran sapi dapat diolah menjadi bahan campuran melapisi lantai rumah.
Selain itu juga sebab musabab babi dalam kehidupan ini. Babi yang kita kehatui sebagai barang konsumsi ‘haram’ dan tidak boleh dikonsumsi karena berbagai hal salah satunya ialah karena faktor kesehatan. Jika ditelisik lebih lanjut ternyata yang menjadi permasalahan selama ini ialah cara pengolahan setengah matang yang membuat babi ini menjadi salah satu yang perlu dihindari karena hewan yang jika dimasak setengah matang menjadi sumber cacing pita yang bisa memanjang enam belas hingga dua puluh centi di usus manusia. Sapi juga penyebab anemia. Dalih kesehatan sangat populer untuk menjawab kenapa orang Islam dan Yahudi tidak makan babi. Tapi itu terlihat tidak konsisten karena mereka tetap makan sapi, kambing, dan domba. Hewan-hewan ternak itu justru sangat rentan kena penyakit. Kambing dan domba adalah vektor Brucellosis, infeksi bakteri yang diketahui menyebabkan demam, batuk, dan sakit kepala. Pasti ada alasan khusus kenapa cuma tabu babi, dan tidak tabu sapi, kambing, dan domba. Pemeliharaan babi mulanya berkembang di daerah Mesopotamia dan Mesir pada abad 13 SM. Dimana mereka meyakini bahwa memelihara babi sama halnya dengan memelihara manusia. Mereka akan melahap habis makanan seperti umbi-umbian yang diberikan peternak. Mereka juga meyakini bahwa daging babi rupaya mewah dan mahal secara ekonomis bila dijual pada tengkulak daging Eropa.
Selain itu juga nyatanya ada tabir tersendiri mengenai perang dan ‘sihir’ yang terjadi dan masih diimani sampai saat ini. Dimana 2 tameng ini digunakan untuk melindungi belah pihak terkait, antara penguasa dengan rakyat atau rakyat dengan penguasa. Yang kita yakini warisan budaya bukanlah hanya sekedar turunan primitif erotis belaka. Namun budaya erat kaitannya dengan nilai esensi alam maupun siklus dalam kehidupan maupun peradaban yang berlangsung. Selain itu juga tradisi merupakan salah satu tameng untuk melawan segala penindasan dan kejahatan setan-setan penguasa yang keji dan tidak berkebehpihakan pada alam dan kemanusiaan.