TETAP MENUNTUT DAN MEMBATALKAN UU CIPTA KERJA

                May day pertama kali terjadi di Pelabuhan Surabaya pada tahun 1918, dimana buruh menuntut kenaikan upah, pengurangan jam kerja, dan kondisi kerja yang lebih baik. Mayday selalu diperingati sampai akhirnya dilarang oleh Jepang pada tahun 1919-1943. Ditetapkan nya May day sebagai hari libur, diperingati dengan rapat umum. (Undang-undang Kerdja tahun 1948, Pasal 15 Ayat 2). Pada 1966 Era kepemimpinan Soeharto, May Day diperingati tahun itu, namun juga mulai dilarang. May day sama sekali dilatang diperingati. Namun, mulai tahun 1995 serikat-serikat buruh memeringatinya secara sembunyi-sembunyi.. pada tahun 2013 Mayday (1 Mei) ditetapkan sebagai hari libur oleh SBY, Mulaiberlaku tahun berikutnya (2014).
             Omnibus Law adalah aturan yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang agar tidak terjadi tumpang tindih peraturan perundang- undangan. Faktanya di Indonesia ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang direvisi sekaligus karena menghambat investasi. Dan ada dua rancangan undang-undang (RUU) Omnibus Law yang diajukan ke DPR yaitu UU Cipta Kerja dan Perpajakan.
              Pada tanggal 2/11/2020 lalu presiden Joko Widodo menandatangani UU cipta kerja menjadi UU nomor 11 tahun 2020. Padahal banyak kecaman dalam pengesahan UU cipta kerja baik dari mahasiswa maupun buruh. Pembentukan UU cipta kerja juga bisa dikatakan cacat formil, karena tidak sesaui dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan mengatur bahwa dalam tahan perencanaan dan penyusunan diperlukan keterlibatan serta partisipasi public yang beragam dari berbagai latar, terutama subjek hukum yang hendak dikenai dari UU cipta kerja ini, yaitu pekerja atau buruh.
            Namun seperti yang kita lihat bagaimana perencanaan dan penyususnan bisa dikatakan sangat tertutup dan tergesa-gesa, sehingga kurangnya partisipasi khususnya parah pekerja atau buruh. Jika dilihat Kembali pada bulan januari 2020 pemerintah mengajukan dua omnibus law, yaitu cipta kerja dan perpajakan. Lalu pada bulan oktober 2020 DPR RI mengesahkan UU omnibuslaw cipta kerja mejadi undang-undang, bahkan pada rapatnya pun menjadi sorortan. Bagaimana tidak, bisa di katakan rapat hantu, yaitu rapat paripurna pada 05 oktober 2020, yang dilakukan secara tiba tiba dan pembahansan tingkat-l antara DPR & pemerintah dilakukan malam hari dan mengesahkan Undang Undang yang berisi 1.187 halaman.
              Dalam UU cipta kerja tersebut terdapat sejumlah pasal yang diubah maupun dihapuskan. Adapun pengubahan yang kebijakan mengenai upah buruh yang tercantum pada pasal 81 nomor 24 UU cipta kerja yang mengubah pasal 88 UU ketenagakerjaan terkait 7 kebijakan yaitu :

1. Upah minimum
2. Struktur dan skala upah
3. Upah kerja lembur
4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alas an tertentu
5. Bentuk dan cara pembayaran upah
6. Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah
7. Upah sebagai dasar penghitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Proses penyusunan RUU Cipta Kerja dinilai sejumlah kelompok masyarakat kurang terbuka dan kurang transparan. Pembahasan yang dilakukan tertutup saat hari libur dan waktu pengesahan yang lebih cepat dari yang dijadwalkan memicu protes. Pembahasan yang dilakukan sejak awal dengan minim konsultasi melanggar hak untuk berpartisipasi dalam urusan publik dan hak atas informasi. Selain itu, Amnesty menilai pasal-pasal berikut atau peniadaan pasal-pasal berikut berpotensi untuk melanggar hak asasi para pekerja:
1. Masuknya Pasal 88B yang memberikan kebebasan kepada pengusaha untuk menentukan unit keluaran yang ditugaskan kepada pekerja sebagai dasar penghitungan upah (sistem upah per satuan). Tidak ada jaminan bahwa sistem besaran upah per satuan untuk menentukan upah minimum di sektor tertentu tidak akan berakhir di bawah upah minimum.

2. Penghapusan Pasal 91 di UU Ketenagakerjaan, yang mewajibkan upah yang disetujui oleh pengusaha dan pekerja tidak boleh lebih rendah daripada upah minimum sesuai peraturan perundang-undangan. Apabila persetujuan upah tersebut lebih rendah daripada upah minimum dalam peraturan perundang-undangan, maka pengusaha diwajibkan untuk membayar para pekerja sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Jika dilanggar pengusaha akan mendapat sanksi. Menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan ini akan berujung pada kurangnya kepatuhan pengusaha terhadap upah minimum menurut undang-undang. Dengan kata lain, kemungkinan besar pengusaha akan memberikan upah yang lebih rendah kepada pekerja dan tidak melakukan apa-apa karena tidak ada lagi sanksi yang mengharuskan mereka melakukannya.

3. Pencantuman Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait perubahan status PKWT menjadi PKWTT. Meski demikian, jangka waktu maksimum perjanjian kerja sementara dan jangka waktu perpanjangan maksimum belum secara spesifik diatur seperti dalam UU Ketenagakerjaan, namun disebutkan akan diatur dalam PP. Catatan: aturan teknis apapun yang dibuat menyusul pengesahan Omnibus jangan sampai membebaskan pengusaha dari kewajiban mereka untuk mengubah status pekerja sementara menjadi pekerja tetap. Hal ini menghilangkan kepastian kerja.

4. Batasan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) masih dikecualikan untuk sektor tertentu. Detail skema masa kerja dan sektor tertentu yang dimaksud akan dijabarkan lebih lanjut melalui peraturan pemerintah (PP). Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya perbedaan batas waktu kerja bagi sektor tertentu dan kompensasinya akan dapat merugikan pekerja di sektor-sektor tertentu, karena mereka dapat diminta untuk bekerja lebih lama dan menerima pembayaran untuk lembur yang lebih rendah dibandingkan pekerja di sektor lain.